Pages

Rabu, 06 Oktober 2010

PENILAIAN KINERJA (PERFORMANCE ASSESSMENT)

PENILAIAN KINERJA (PERFORMANCE ASSESSMENT)



A. Definisi

Danielson S. A Collection of Performance Task And Rubriks. http://www.assesment.com/Danielson/ 10/4/2006, mendefinisikan penilaian unjuk kerja sebagai “Performance assesment means any assesment of student learning that requires the evaluation of student writing, product, or behavior. That is, it includes all assesment with the exeption of multiple choice, matching, true/false testing, or problem with a single correct answer”.(penilaian unjuk kerja adalah penilaian belajar siswa yang meliputi semua penilaian dalam bentuk tulisan, produk atau sikap kecuali bentuk pilihan ganda, menjodohkan, benar-salah, atau jawaban singkat.
Fitzpatrick dan Morison (1971) berpandangan bahwa penilaian kinerja (performance assessment) sebenarnya tidak memiliki perbedaan yang begitu besar dengan tes lainnya yang dilaksanakan di dalam kelas, hal ini menurut mereka tergantung dari sejauhmana tes itu dapat mensimulasikan situasi dari kriteria-kriteria yang diharapkan.
Trespeces (1999) mengatakan bahwa “performance assessment” adalah berbagai macam tugas dan situasi dimana peserta tes diminta untuk mendemonstrasikan pemahaman dan pengaplikasian pengetahuan yang mendalam, serta keterampilan di dalam berbagai macam konteks. Jadi boleh dikatakan bahwa “performance assessment” adalah suatu penilaian yang meminta peserta tes untuk mendemonstrasikan dan mengaplikasikan pengetahuan ke dalam berbagai macam konteks sesuai dengan kriteria yang diinginkan.
Wangsatorntanakhum (1997) menyatakan bahwa assessment kinerja terdiri dari dua bagian yaitu “clearly defined task and a list of explicit criteria for assessing student performance or product”. Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa assessment kinerja diwujudkan berdasarkan “empat asumsi” pokok, yaitu: 1) performance assessment didasarkan pada partisipasi aktif mahasiswa/siswa, 2) tugas-tugas yang diberikan atau dikerjakan oleh siswa/mahasiswa yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan proses pembelajaran, 3) performance assessment tidak hanya untuk mengetahui posisi siswa pada suatu saat dalam proses pembelajaran, tetapi lebih dari itu, assessment juga dimaksudkan untuk memperbaiki proses pembelajaran itu sendiri, dan 4) dengan mengetahui lebih dahulu kriteria yang akan digunakan untuk mengukur dan menilai keberhasilan proses pembelajarannya, siswa akan secara terbuka dan aktif berupaya untuk mencapai tujuan pembelajaran.Seringkali “performance assessment” ini dikaitkan dengan suatu kriteria yang diinginkan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dikenal dengan nama “Authentic Assessment (penilaian autentik)” Jadi pengertian dari “authentik assessment” ini selalu melibatkan peserta tes di dalam mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam praktek kehidupan mereka sehari-hari.

B. Karakteristik Penilaian Kinerja

Performance assessment memiliki karakteristik dasar yaitu :

1. peserta tes diminta untuk mendemonstrasikan kemampuannya dalam mengkreasikan suatu produk atau terlibat dalam suatu aktivitas (perbuatan), misalnya melakukan eksperimen untuk mengetahui tingkat penyerapan dari kertas tisue,
2. produk dari performance assessment lebih penting daripada perbuatan (performan)-nya. (Maertel, 1992)

Dalam hal memilih, apakah yang akan dinilai itu produk atau performance (perbuatan) tergantung pada karakteristik domain yang diukur (Messirh, 1994). Dalam bidang seni misalnya, seperti acting dan menari, perbuatan dan produknya sama penting, tetapi dalam creative writing mengukur produk adalah fokus yang utama.

C. Bagaimana mengetahui kualitas penilaian kinerja?

Untuk mengetahui apakah penilaian kinerja (performance assessment) dapat dianggap berkualitas atau tidak, terdapat tujuh kriteria yang perlu diperhatikan oleh evaluator. Ketujuh kriteria ini sebagaimana diungkap oleh Popham (1995) yaitu:
a. Generability : apakah kinerja peserta tes (students performance) dalam melakukan tugas yang diberikan tersebut sudah memadai untuk digeneralisasikan kepada tugas-tugas lain? Semakin dapat digeneralisasikan tugas-tugas yang diberikan dalam rangka penilaian keterampilan atau penilaian kinerja (”performance assessment) tersebut, dalam artian semakin dapat dibandingkan dengan tugas yang lainnya maka semakin baik tugas tersebut. Hal ini terutama dalam kondisi bila peserta tes diberikan tugas-tugas dalam penilaian keterampilan (performance assessment) yang berlainan.
b. Authenticity: apakah tugas yang diberikan tersebut sudah serupa dengan apa yang sering dihadapinya dalam praktek kehidupan sehari-hari?
c. Multiple foci: apakah tugas yang diberikan kepada peserta tes sudah mengukur lebih dari satu kemampuan-kemampuan yang diinginkan (more than one instructional outcomes)?
d. Teachability: apakah tugas yang diberikan merupakan tugas yang hasilnya semakin baik karena adanya usaha mengajar guru di kelas? Jadi tugas yang diberikan dalam penilaian keterampilan atau penilaian kinerja (performance assessment) adalah tugas-tugas yang relevan dengan yang dapat diajarkan guru di dalam kelas.
e. Fairness: apakah tugas yang diberikan sudah adil (fair) untuk semua peserta tes. Jadi tugas-tugas tersebut harus sudah dipikirkan tidak ”bias” untuk semua kelompok jenis kelamin, suku bangsa, agama, atau status sosial ekonomi.
f. Feasibility: apakah tugas-tugas yang diberikan dalam penilaian keterampilan atau penilaian kinerja (performance assessment) memang relevan untuk dapat dilaksanakan mengingat faktor-faktor seperti biaya, ruangan (tempat), waktu, atau peralatannya?
g. Scorability: apakah tugas yang diberikan nanti dapat diskor dengan akurat dan reliabel? Karena memang salah satu yang sensitif dari penilaian keterampilan atau penilaian kinerja (performance assessment) adalah penskorannya.

D. Langkah-Langkah Penilaian Kinerja.

Beberapa langkah yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian kinerja (performance assessment) adalah:

1. Identifikasi semua langkah-langkah penting yang diperlukan atau yang akan mempengaruhi hasil akhir (output) yang terbaik.
2. Tuliskan perilaku kemampuan-kemampuan spesifik yang penting dan diperlukan untuk menyelesaikan tugas dan menghasilkan hasil akhir (output) yang terbaik.
3. Usahakan untuk membuat kriteria-kriteria kemampuan yang akan diukur tidak terlalu banyak sehingga semua kriteria tersebut dapat diobservasi selama siswa melaksanakan tugas.
4. Definisikan dengan jelas kriteria kemampuan-kemampuan yang akan diukur berdasarkan kemampuan siswa yang harus dapat diamati (observable) atau karakteristik produk yang dihasilkan.
5. Urutkan kriteria-kriteria kemampuan yang akan diukur berdasarkan urutan yang dapat diamati
6. Kalau ada, periksa kembali dan bandingkan dengan kriteria-kriteria kemampuan yang sudah dibuat sebelumnya oleh orang lain di lapangan.Untuk menjaga obyektifitas dan keadilan (fair) sebaiknya penilai atau evaluator lebih dari satu orang sehingga penilaian mereka menjadi lebih valid dan reliabel.

E. Masalah Validitas, Reliabilitas dan Fairness

a. Validitas
Kompleksnya tugas dan kemampuan yang akan diukur dalam performance assessment dapat menimbulkan masalah dalam penskoran dan keterwakilannya domain yang hendak diukur.Suatu tugas dalam penilaian unjuk kerja atau kinerja yang kompleks tentunya memerlukan proses penilaian yang kompleks juga, dan sebaliknya ada tugas yang memerlukan lebih dari satu kemampuan, seperti kompetensi bahasa dan kemampuan matematik. Problem soalnya dalam matematika memerlukan domain pengetahuan yang relevan dan keterampilan dalam menggunakan informasi tentang komponen-komponen kemampuan yang akan diukur. Selain penskorannya juga harus direview untuk melihat sejauhmana penskoran tersebut sudah mencakup kemampuan yang kompleks.
b. Reliabilitas
Masalah reliabilitas juga menjadi pertanyaan pokok dalam penilaian unjuk kerja, yaitu sejauhmana skor siswa dapat merefleksikan kemampuan siswa yang sebenarnya (true ability) dan bukan akibat dari kesalahan pengukuran. Tujuan dari pengembang tes adalah mendesain penulisan, membuat kondisi pelaksanaan tes dan penskorannya tidak terhambat pada situasi yang tidak berkembang dengan kemampuan yang hendak diukur. Masalah pada penilaian performance biasanya adalah:penskoran (rating) dari pemberi skor performance assessment.Siswa tidak mengenali alat-alat performance assessment yang dimanipulasi.Siswa tidak mengenal topik yang ditingkatkan dalam performance assessment.Akan tetapi kesalahan yang disebabkan oleh penskor (rater) dapat diminimalkan apabila pedoman penskoran performance asssessment dibuat & didefinisikan sebaik mungkin dan juga sebelum dimulai penskoran diadakan pelatihan penskoran (rater) terlebih dahulu.
c. Fairness
Permasalahan yang berhubungan dengan fairness dalam performance assessment adalah
1. perbandingan dalam penulisan,
2. ketersediaan alat-alat yang diperlukan,
3. kesempatan untuk belajar atau berlatih. Apabila tugas dalam performance assessment ada beberapa pilihan, maka harus ada bukti validitas perbandingan dari tugas-tugas tersebut.

F. Sumber Kesalahan Penskoran dalam Penilaian Kinerja

Masalah utama dalam penilaian kinerja adalah masalah penskorannya. Dikarenakan banyak factor yang mempengaruhi pada hasil penskoran penilaian keterampilan atau penilaian kinerja (performance assessment). Masalah penskoran pada penilaian keterampilan atau penilaian kinerja lebih kompleks daripada penskoran pada bentuk soal uraian.
Popham (1995) menguraikan tiga sumber utama kesalahan penskoran penilaian kinerja, yaitu:
Masalah dalam instrument: instrumen pedoman penskoran tidak jelas sehingga sukar digunakan oleh penilai. Selain itu komponen-komponen yang harus dinilainya juga sukar untuk diskor, umumnya karena komponen-komponen tersebut sukar untuk diamati (unobservable). Hal yang demikian tentunya akan mengakibatkan hasil penskoran yang tidak valid, dan tidak akurat (tidak reliabel).
Masalah prosedural: prosedur yang digunakan dalam penilaian keterampilan atau penilaian kinerja tidak baik sehingga juga mempengaruhi hasil penskoran. Masalah yang biasanya terjadi adalah penskor (rater) harus menskor komponen-komponen yang terlalu banyak. Bagi penskor sebenarnya semakin sedikit komponen yang harus dinilai semakin baik, tetapi pembuat pedoman penskoran tetap harus membuat pedoman penskoran yang dapat mewakili semua komponen-komponen penting yang mempengaruhi kualitas hasil akhir. Masalah lain dari prosedur ini adalah umumnya penskor (rater) hanya satu orang, sehingga sukar untuk dapat membandingkan hasil pertimbangan (adjustment) penskoran dengan orang lain.
Masalah penskor yang bias: penskor (rater) cenderung untuk sukar menghilangkan masalah, ”personal bias”. Sewaktu menskor hasil pekerjaan peserta tes ada kemungkinan penskor (rater) mempunyai masalah ”generosity error” artinya penskor cenderung memberi nilai yang tinggi-tinggi, walaupun kenyataan yang sebenarnya hasil pekerjaan peserta tes tidak baik. Kemungkinan juga penskor mempunyai masalah ”severity error” artinya penskor cenderung memberi nilai yang rendah-rendah, walaupun kenyataannya hasil pekerjaan peserta tes tersebut baik. Kemungkinan lain penskor juga cenderung dapat memberi nilai yang sedang-sedang saja, walaupun pada kenyataannya hasil pekerjaan peserta tes ada yang baik dan ada yang tidak baik. Masalah lain adalah adanya kemungkinan penskor tertarik atau simpati pada peserta tes sehingga sukar baginya untuk memberi nilai yang objektif (hallo efect)

किनेमतिका GELOMBANG

KINEMATIKA GELOMBANG
PENDAHULUAN
Gelombang adalah suatu gangguan yang bergerak dengan kecepatan tertentu. Sebuah batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang tenang misalnya, akan menggangu permukaan air dalam kolam yang semula tenang tersebut. Akibat perambatan gangguan ke permukaan kolam di sekitar tempat batu jatuh dibawah pengaruh gaya berat dan tegangan muka, terjadi riak gelombang melingkar dan variasi tekanan pada permukaan air dalam kolam tersebut yang mampu mengangkut energi dan momentum gangguan melintasi ruang dan waktu.
Gelombang yang mengangkut tenaga, momentum serta informasi khusus bergantung pada polanya itu menarik perhatian para ilmuwan dan insinyur untuk menelaah dan memanfaatkannya secara maksimal. Bab ini menelaah kinematika gelombang tanpa menyinggung sifat fisis observabel yang dirambatkan serta medium perambatnya, suatu aspek umum yang berlaku untuk berbagai jenis gelomabng antara lain gelombang mekanis yang meliputi gelombang bunyi atau akustik dalam padat dan fluida, gelombaang seismik dalam zat padat, gelombang graviti dalam cairan dan gelombang elektromagnetik (termasuk gelombang cahaya didalamnya) dalam ruang hampa maupun medium atau ruang kontinu. Semua gelombang tersebut mempunyai aspek kinematis serupa yang dapat ditelaah secara terpadu seperti persamaan diferensialnya. Peubah-peubah gelombang yang pokok , superposisi gelombang , grup gelombang dan kecepatan grup sertaefek Doppler. Bagian kinematik untuk cahaya yang menyangkut optika fisis secara khusus misalnya mengenai aspek interferensi, di fraksi dan pengutupan yang segi operasionalnya memerlukan pula implementasi teori elektromagnetik dalam medium, akan di bahas dalam bab-bab terpisah.

मॉडल पेम्बेलाजरण PORTOFOLIO

MODEL PEMBELAJARAN PORTOFOLIO
1. Pengertian
Selama ini orang lebih mengenal istilah portofolio dalam lapangan pemerintahan yakni digunakan untuk menyebut salah satu jabatan menteri, yakni menteri yang tidak memimpin departemen. Dalam bahasa inggris dikenal istilah minister without portfolio, artinya adalah menteri yang tidak memimpin alias menteri negara. Dalam lapangan pendidikan dan pengajaran, istilah portofolio sebagai model pembelajaran relatif masih belum banyak dikenal secara luas. Yang telah dikenal agak luas adalah portofolio sebagai suatu cara penilaian (portofolio based assesment).
Portofolio sebenarnya dapat diartikan sebagai wujud benda fisik, sebagai proses sosial pedagogis, maupun sebagai adjective. Sebagai suatu wujud benda fisik portofolio adalah bundel, yakni kumpulan atau dokumentasi hasil pekerjaan peserta didik yang disimpan pada suatu bundel. Misalnya hasil tes awal (pre test), tugas-tugas, catatan anekdot, piagam penghargaan, keterangan melaksanakan tugas terstruktur, hasil tes akhir (post test), dan sebagainya. Sebagai suatu proses sosial pedagogis, portofolio adalah collection of learning experience yang terdapat didalam pikiran peserta didik baik yang berwujud pengetahuan (kognitif), keterampilan (skill), maupun nilai dan sikap (afektif). Adapaun sebagai suatu adjective portofolio sering disandingkan dengan konsep lain, misalnya dengan konsep pembelajaran dan penilaian. Jika disandingkan dengan konsep pembelajarn maka dikenal istilah pembelajaran berbasis portofolio (portfolio based learning, sedangkan jika disandingkan dengan konsep penilaian maka dikenal istilah penilaian berbasis portofolio (portofolio based assesment).







Menurut Budimansyah (2003 : 8) portofolio diartikan sebagai kumpulan pekerjaan peserta didik dengan maksud tertentu dan terpadu yang diseleksi menurut panduan-panduan yang ditentukan. Panduan-panduan ini beragam tergantung pada mata pelajaran dan tujuan penilaian portofolio itu sendiri. Protofolio biasanya merupakan karya terpilih dari seorang siswa. Tetapi dapat juga berupa karya terpilih dari satu kelas secara keseluruhan yang bekerja secara kooperatif membuat kebijakan untuk memecahkan masalah.
2. Landasan Pemikiran
Untuk lebih mengenal model ini, mari kita kenali terlebih dahulu pemikiran yang melandasinya. Sebagai sutau pembaruan dalam pembelajaran , model pembelajaran berbasis portofolio dilandasi oleh beberapa landasan sebagai berikut.
a. Empat Pilar Pendidikan
Empat pilar pendidikan sebagai landasan model pembelajaran berbasis portofolio adalah learning to do, learning to know, learning to be, learning to live together, yang dicanangkan UNESCO. Dalam proses pembelajaran para orang dewasa, tidak seharusnya memposisikan peserta didik sebagai pendengar ceramah guru laksana botol kosong yang diisi dengan ilmu pengetahuan. Peserta didik harus diberdayakan agar mau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya (learning to do) dengan meningkatkan interaksi dengan lingkungannya baik lingkungan fisik, sosial, maupun budaya, sehingga mampu membangun pemahaman dan pengetahuannya terhadap dunia sekitarnya (learning to know). Diharapkan hasil interaksi dengan lingkungannya itu dapat membangun pengetahuan dan kepercayaan dirinya (learning to be). Kesempatan berinteraksi dengan berbagai indibvidu atau kelompok yang bervariasi (learning to live together) akan membentuk kepribadiannya untuk memahami kemajemukan dan melahirkan sikap-sikap positif dan toleran terhadap keanekaragaman dna perbedaan hidup. Model pembelajaran berbasis portofolio dilandasi oleh empat pilar pendidikan tersebut.
b. Pandangan Konstruktivisme
Pandangan konstruktivisme sebagai filosofi pendidikan mutakhir menganggap semua peserta didik mulai dari usia taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi memilki gagasan/pengetahuan tentang lingkungan dan peristiwa/gejala lingkungan di sekitarnya, meskipun gagasan/pengetahuan ini sering kali naif dan miskonsepsi. Mereka senantiasa mempertahankan gagasan/pengetahuan naif ini secara kokoh. Ini dipertahankan karena gagasan/pengetahuan ini terkait dengan gagasan/pengetahuan awal lainnya yang sudah dibangun dalam wujud “schemata” (struktur kognitif).
Para ahli pendidikan berpendapat bahwa inti kegiatan pendidikan adalah memulai pelajara dari “apa yang diketahui peserta didik”. Guru/dosen tidak dapat mengindoktrinasi gagasan ilmiah supaya peserta didik mau mengganti dan memodifikasi gagasannya yang non-ilmiah menjadi gagasan/pengetahuan ilmiah. Dengan demikian, arsitek pengubah gagasan peserta didik adalah peserta didik dan guru/dosen hanya berperan sebagai “fasililator dan penyedia kondisi” supaya proses belajar bisa berlangsung. Beberapa bentuk kondisi bbelajar yang sesuai dengan filosofi konstruktivisme antara lain : diskusi yang menyediakan kesempatan agar semua peserta didik mau mengungkapkan gagasan, pengujian dan hasil penelitian sederhana, demontrasi dan peragaan prosedur ilmiah, dna kegiatan praktis lain yang memberi peluang peserta didik untuk mempertajam gagasannya.
c. Democratic Teaching
Bangsa indonesia yang tengah melakukan reformasi menuju kehidupan demokratis pada penghujung abad ke-20, harus berpikir bahwa semua institusi harus dpat mendkung untuk mewujudkan kehidupan yang demokratis didalam kehidupan sehari-hari dilingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, lembaga pemerintah, maupun non-pemerintah. Ada adagium yang menyatakan bahwa “ demokrasi dalam suatu negara akan tumbuh subur apabila dijaga oleh warga negara yang memiliki kehidupan demokratis “. Oleh karena itu, sekolah sebagai sebuah institusi penting, perlu menciptakan kehidupan yang demokratis.
Democratic Teaching adalah suatu bentuk upaya menjadikan sekolah sebagai pusat kehidupan demokrasi melalui proses pembelajaran yang demokratis. Secara singkat democratic teaching adalah proses pembelajaran yang dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi, yaitu penghargaan terhadpa kemampuan, menjunjung keadilan, menerapkan persamaan kesempatan, dan memperhatikan keragaman peserta didik. Dalam prakteknya, para pendidik sebagai insan yang harus dihargai kemampuannya dan diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Olehg karena itu dalam proses pembelajaran perlu adanya suasana yang terbuka, akrab, dan saling menghargai. Sebaliknya perlu menghindari suasana belajar yang kaku, penuh dengan keteganganm dan sarat dengan perintah dan instruksi yang membuatnpeserta didik menjadi pasif, tidak bergairah, cepat bosan dan mengalami kelelahan.
3. Prinsip Dasar
Jika diamati secara seksama sekurang-kurangnya ada lima prinsip dasar yang dibawakan model pembelajaran berbasis portofolio ini. Kelima prinsip dasar dimaksud adalah prinsip belajar siswa aktif (student active learning), kelompok belajar kooperatif (cooperative learning), pembelajaran partisipatorik, mengajar yang reaktif (reactive teaching), dan prinsip dasar belajar yang menyenangkan (joyfull learning).
a) Prinsip Belajar Siswa Aktif
Proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis portofolio berpusat pada siswa. Dengan demikian model ini menganut prinsip belajar siswa aktif. Aktivitas siswa hampir di seluruh proses pembelajaran, dari mulai fase perencanaan di kelas, kegiatan lapangan, dan pelaporan. Dalam fase perencanaan aktivitas siswa terlihat pada saat mengidentifikasi masalah dengan menggunakan teknik bursa ide (brain strorming). Setiap siswa boleh menyampaikan masalah yang menarik baginya, disamping tentu saja yang berkaitan dengan materi pelajaran. Setelah masalah terkumpul, siswa melakukan voting untuk memilih satu masalah untuk kajian kelas.
Dalam fase kegiatan lapangan, aktivitas siswa lebih tampak. Dengan berbagai teknik (misalnya dengan wawancara, pengamatan, kuesioner, dan lain-lain) mereka mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan yang menjadi kajian kelas mereka. Untuk melengkapi data dan informasi data tersebut, mereka mengambil foto, membuat sketsa, membuat kliping, bahkan ada kalanya , mengabadikan peristiwa penting dalam video.
Pada fase pelaporan aktivitas mereka terfokus pada pembuatan portofolio kelas. Segala bentuk data dan informasi disusun secara sistematis dan disimpan pada sebuah bundel (portofolio seksi dokumentasi). Adapun data dan informasi yang paling penting dan menarik (eyes catching) ditempel pada portofolio seksi penayangan, yaitu papan panel yang terbuat dari kardus bekas atau bahan lain yang tersedia. Setelah portofolio dibuat, dilakukanlah public hearing dalam kegiatan show-case di hadapan dewan juri. Kegiatan ini merupakan puncak penampilan siswa, sebab segala jerih payah siswa diuji dan diperdebatkan dihadapan juri.
b) Kelompok Belajar Kooperatif
Proses pembelajaran dengan model ini juga menerapkan prinsip belajar kooperatif, yaitu proses pembelajan yang berbasis kerjasama. Kerja sama antar siapa? Tiada lain adalah kerjasama antar siswa dan antar kompoonen-komponen lain disekolah, termasuk kerja sama sekolah dengan orang tua siswa dan lembaga terkait. Kerja sama antarsiswa jelas terlihat pada saat kelas sudah memilih satu masalah untuk bahan kajian bersama. Semua pekerjaan disusun, orang-orangnya ditentukan, siapa mengerjakan apa, merupakan satu bentuk kerja sama itu.
Dengan komponen-komponen sekolah lainnya juga seringkali harus dilakukan kerjasama. Misalnya pada saat para siswahendak mengumpulkan data dan informasi lapangan sepulang dari sekolah, bersamaan waktunya dengan jadwal latihan olahraga di sekolah. Dalam hal ini perlu dicari jala keluarnya, yakni membicarakannya dengan guru olahraga sekolah. Apakah jadwla latihan olahraga yang diundur atau kunjungan lapangan yang diubah. Kasus seperti itu memerlukan kerja sama, walaupun dalam lingkup kecil dan sederhana. Hal seriupa juga sering kali terjadi dengan pihak keluarga. Orang tau perlu juga diberi pemahaman, manakala anaknya pulang agak terlambat dari sekolah karena melakukan kunjungan lapangan terlebih dahulu. Sekali lagi, dari peristiwa ini pun tampak perlunya kerjasama antara sekolah dengan orang tua dalam upaya membangun kesepahaman.
Kerja sama dengan lembaga terkait diperlukan pada saat para siswa merencakan mengunjungi lembaga tertentu atau meninjau suatu kawasan yang menjadi tanggung jawab lembaga tertentu. Misalnya mengunjungi dinas perpakiran untuk mengetahui kebijakan mengenai perpakiran. Mengunjungi kantor bupati atau wali kota untuk mengetahui kebijakan mengenai penertiban pedagang kaki lima. Mengamati dampak pembuangan limbah pabrik pada suatu kawasan tertentu, dan sebagainya. Kegiatan para siswa itu tentu saja perlu dibekali surat pengantar dari kepala sekolah selaku penanggung jawab kegiatan sekolah.
c. Pembelajaran Partisipatorik
Model Pembelajaran Berbasiis Portofolio juga menganut prinsip dasar pembelajaran partisipatorik, sebab melalui model ini siswa belajar sambil melakoni (learning by doing). Salah satu bentuk pelakoan itu adalah siswa belajar hidup berdemokrasi. Mengapa terdapat pelakonan hidup berdemokrasi? Sebab dalam tiap langkah dalam model ini memiliki makna yang ada hubungannya dengan praktek hidup berdemokrasi.
Sebagai contoh pada saat memilih masalah untuk kajian kelas memilki bahwa siswa dapat menghargai dan menerima pendapat yang didukung suara terbanyak. Pada saat berlangsungnya perdebatan, siswa belajar mengemukakan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain, menyampaikan kritik dan sebaliknya belajar menerima kritik, dengan tetap berkepala dingin. Proses ini mendukung adagium yang menyatakan bahwa “ democracy is not in heridity but learning” (demokrasi itu tidak diwariskan, tetapi dipelajari dan dialami). Sebab dalam kenyataannya tidak ada jaminan anak dari seorang ayanh yang demokrat akan menjadi seorang demokrat pula. Yang mungkin terjadi adalah seorang ayah yang demokrat, mendidik dan membina anaknya tentang hidup berdemokrasi dalam suasana pergaulan yang demokratis, sehingga pada suatu ketika ia menjadi melalui proses pendidikan yang demokratis pula.
Oleha karena itu mengajarkan demokrasi itu harus dalam suasana yang demokratis dan untuk mendukung kehidupan yang demokratis (teaching democracy in and for democracy). Tujuan ini hanya dapat dicapai dengan belajar sambil melakoni atau dengan kata lain harus menggunakan prinsip belajar partisipatorik.
d. Reactive Teaching
Untuk menerapkan Model Pembelajaran Berbasis Portofolio guru perlu menciptakan strategi yang tepat agar siswa mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Motivasi yang seperti itu akan dapat tercipta kalau guru dapat meyakinkan siswa akan kegunaan materi pelajaran bagi kehidupan nyata. Demikian juga, guru harus dapat menciptakan situasi sehingga materi pelajaran selalu menarik, tidak membosankan. Guru harus punya sensitivitas yang tinggi untuk segera mengetahui apakah kegiatan pembelajaran sudah membosankan siswa. Jika hal ini terjadi, guru harus segera mencari cara untuk menanggulanginya. Inilah tipe guru yang reaktif itu.
Ciri guru reaktif itu diantaranya adalah sebagai berikut.
 Menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan belajar.
 Pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang sudah diketahui dan dipahami siswa.
 Selalu berupaya membangkitkan motivasi belajar siswa dengan membuat materi pelajaran sebagai sesuatu hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan siswa.
 Segera mengenali materi atau metode pembelajaran yang membuat siswa bosan. Bila hal ini ditemui, ia segera menanggulanginya.
Model pembelajaran berbasis portofolio mensyaratkan guru yang reaktif, sebab tidak jarang pada awal pelaksanaan model ini, siswa ragu dan bahkan malu untuk mengemukakan pendapat. Hal tersebut terjadi oleh karena secara empirik potensi dan kemampuan siswa bervariasi. Ada siswa yang sudah terbiasa mengemukakan pendapat, berdiskusi, bahkan berdebat, akan tetapi siswa yang lain banyak yang tidak demikian. Dalam keadaan seperti itu guru hendaknya dapat memberikan dorongan dan motivasi. Caranya adalah dengan memberikan penghargaan kepda setiap siswa bagaimana pun kualitasnya. Jika setiap pendapat siswa dihargai, lama kelamaan pada diri mereka muncul kepercayaan dirinya untuk tidak malu-malu lagi mengemukakan pendapat.
e. Joyfull Learning
Salah satu teori belajar menegaskan bahwa sesulit apapun materi pelajaran apabila dipelajari dalam suasana yang menyenangkan pelajaran tersebut akan mudah dipahami. Sebaliknya walaupun materi pelajaran tidak terlampau sulit untuk dipelajari, namun apabila suasana belajar membosankan, tidak menarik, apabila siswa belajar di bawah tekanan, maka pelajaran akan sulit dipahami. Atas dasar pemikiran tersebut, maka agar para siswa mudah memahami materi pelajaran, mereka harus belajar dalam suasana yang menyenangkan, penuh daya tarik, dan penuh motivasi.
Model Pembelajaran Berbasis Portofolio menganut prinsip dasar bahwa belajar itu harus dalam suasana yang menyenangkan (joyfull learning). Melalui model ini para siswa diberi keleluasaan untuk memilih tema belajar yang menarik bagi dirinya. Misalnya kelas yang sedang mempelajari fisika merencanakan membuat proyek belajar, yaitu mengidentifikasi sejumlah masalah aktual yang ada dimasyarakat, kemudian memilih salah satu diantaranya untuk bahan kajian kelas. Fase selanjutnya mereka terjun ke masyarakat mencari data dan informasi untuk memecahkan masalah tersebut. Pengalaman terjun ke masyarakat adalah sallah satu pengalaman belajar riil yang menyenagkan bagi mereka, disamping melatih sejumlah kompetensi untuk hidup bermasyarakat, seperti misalnya memilki kemampuan melakukan wawancara, melakukan observasi, membuat laporan perjalanan, mampu bergaul dengan masyarakat, menyelami aspirasi mereka, dan sebagainya. Kompetensi-kompetensi tersebut kelak di kemudian hari sangat bermanfaat bagi para siswa untuk hidup dimasyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Budimansyah, Dasim. 2003. Model Pembelajaran Portofolio. PT Genesindo: Bandung

Selasa, 09 Maret 2010

ORGANISASI PROFESI GURU
A. BERBAGAI ORGANISASI PROFESI GURU/KEPENDIDIKAN
Didalam perkembangannya organisasi guru teah banyak mengalami diferensinya dan di versifikasi. Sebagaiaman telah dinyatakan dalam UU No. 20 tahun 2003 Pasal 1 ayat (6) bahwa “ Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususnya seta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan”. Akan tetapi yang perlu di ingat bahwasannya setiap organisasi kependidikan guru/kependidikan dapatnya memberi manfaat bagi anggotanya, baik melindungi anggotanya dan melindungi masyarakat.
B. MAFAAT ORGANISASI PROFESI BAGI GURU
Suatu profesi muncl berawal dari adanya public trust kepercayaan masyarakat (Bigs dan Blocher, 1986: 7). Kepercayaan masyarakat yang menjadi penopang suatu profesi didasari oleh ketiga perangkat keyakinan.
1. Kepercayaan terjadi dengan adanya suatu persepsi tentang kompetensi.
2. Adanya persepsi masyarakat bahwa kelompok-kelompok profeional mengatur dirinya dan lebih lanjut diatur oleh masyarakat berdasarkan minat dan kepentingan masyarakat .
3. Persepsi yang melahirkan kepercayaan masyarakat itu ialah anggota-anggota suatu profesi miliki motivasi untuk memberikan layanan kepada orang-orang dengan siapa mereka bekerja.
Konsepsi profesi, seperti diatas merupakan refleksi nurani pihak professional yang pernyataannya tersurat dan tersirat dalam standart difikasi, yang selanjutnya disebut kode etik. Bahwasannya hakikat profesi adalah suatu pernyataan atau suatu janji yang terbuka. Oleh karena itu, seorang profeional yang melanggat standart etis profesinya akan berhadapan dengan sanksi tertentu.
1. Ciri-ciri Profesi
Menurut Erick Hoyle (1969 : 80-85) mengemukakan enam cirri profesi, yakni :
a. a profession perform on essential social service (suatu profesi menunjukan suatu pelayanan sosial)
b. a profession is founded upon a systematic body of academicof knowledge (suatu profesi didasari oelh tubuh keilmuan yang sistematis)
c. a profession requires a lengthy period of academic and praticel training (suatu profesi memerlukan suatu pendidikan dan latihan dalam periode waktu cukup lama)
d. a profession has a light degree of autonomy (suatu profesi memiliki otonomi yang tinggi)
e. a profession has a code of ethies (suatu profesi memiliki kode etik)
f. a profession generate in service growth (suatu profesi berkembang dalam proses pemberian layanan)
2. Organisasi Profesi Pendidikan
Seberapa banyak cirri-ciri suatu profesi sudah ada dalam pekerjaan sebagai pendidik/guru. Perlu diketahui bahwa pekerjaan itu menuntut keterampilan tertentu yang dipersiapkan melalui proses pendidikan dan latihan yang relatif lama.
C. FUNGSI ORGANISASI PROFESI KEPENDIDIKAN
Organisasi kependidikan selain sebagai cirri suatu profesi kependidikan, sekaligus juga memiliki fungsi sebagai pemersatu seluruh anggota dalam kiprahnya menjalankan tugasnya, dan memiliki fungsi peningkatan kemampuan professional, kedua fungsi tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut :
1. Fungsi pemersatu
Kdorongan yag menggerakkan pada professional untuk membentuk suatu organisasi keprofessian. Secara intrinstik, para professional terdorong oleh keinginanya mendapatkan kehidupan yang layak, sesuai dengan profesi yang diembannya. Kedua motif tersebut sekaligus merupakan tantangan bagi pengembangan suatu profesi yang secara teoritas sangat sulit dihadapi dan diselesaikan.
2. Fungsi Peningkatan Kemampuan Profesional
Fungsi ini telah tertuang dalam PP No. 38 tahun 1992, pasal 61 yang berbunyi ; “ Tenaga kependidikan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk peningkatkan dan mengembangkan karier, kemampuan, kewenangan professional, martabat, dan kesejahteraan tenaga kependidikan.
Menurut Johnson (Abin Syamsuddin, 1999 :72), kompetensi kependidikan dibangun oleh enam perangkat kompetensi berikut ini :
a. Performance component, yaitu unsur kemampuan penampilankinerja yang sesuai dengan profesi kependidikan
b. Subject component, yaitu unsur kemampuan penguasaan bahan/substansi pengetahuan yang relevan.
c. Profesional component, yaitu unsur kemampuan penguasaan subtansi pengetahuan dan ketarampilan teknis profesi kependidikan.
d. Process component, yaitu unsur kemampuan penguasaan proses-proses mental mencakup berpikir logis dalam pemecahan masalah.
e. Adjustment component, yaitu unsur kemampuan penyerasian dan penyesuaian diri berdasarkan karakteristik pribadi pendidik.
f. Attitudes component, yaitu unsur komponen sikap, nilai, kepribadian pendidik/guru.
D. TUJUAN ORGANISASI PROFESI KEPENDIDIKAN
Menurut visinya secara umum ialah terwujudnya tenaga kependidikan yang professional
1. Meningkatkan dan mengembangkan karier anggota, hal itu merupakan upaya organisasi dalam bidang mengembangkan karir anggota sesuai bidang pekerjannya.
2. Meningkatkan dan mengembangkan kemampuan anggota, merupakan upaya terwujudnya kompetensi kependidikan yang handal pada diri tenaga kependidikan
3. Meningkatkan dan mengembangkan kewenangan profeional anggota merupakan upaya para professional untuk menempatkan anggota suatu profesi sesuai kemampuan.
4. Meningkatkan dan mengembangkan martabat anggota, merupakan upaya organisasi profesi kependidikan agar anggotanya terhindar dari perlakuan tidak manusiawi.
5. Meningkatkan dan mengembangkan kesejahteraan merupakan upaya organisasi profesi kependidikan untuk meningkatkan kesejahteraan lahir batin anggotanya.
E. RAGAM BENTUK PARTISIPASU GURU
Bentuk partisipasi anggota profesi tidak sebatas terdaftar menjadi anggota dengan memberikan sejumlah iuran rutin, namun lebih dalam bentuk nyata yang bersifat professional. Beberapa bentuk partisipasi dalam organisasi profesi guru bias berupa :
1. Aktif mengomunikasikan berbagai pikiran dan pengalaman yang mengarah kepada pembaharuan dan perbaikan mutu pendidikan.
2. secara aktif melakukan evaluasi diri, baik secara perorangan mapun kelompok dalam hal praktek professional dengan mengacu kepada standart profesi yang telah ditetapkan oleh organisasi
3. Bentuk partisipasi mewujudkan perilaku dan sikap professional dalam kehidupan dan lingkungan kerja guru.